Liputan6.com, Jakarta - Oculab bukan satu-satunya aplikasi kesehatan yang menarik perhatian tim Liputan6.com saat mengunjungi Apple Developer Academy di Jakarta.
Sebagai tugas akhir menjelang kelulusan, sejumlah siswa Apple Developer Academy di Green Office Park, BSD, memamerkan proyek buatan mereka.
Banyak dari mereka mengerjakan proyek akhir dengan tujuan meningkatkan aksesibilitas memiliki masalah kesehatan, atau untuk mengatasi tantangan dihadapi oleh pekerja medis untuk pada akhirnya meningkatkan tingkat layanan medis secara keseluruhan.
Berbekal kedekatan dan koneksi akademi dengan rumah sakit, mahasiswa bisa berkolaborasi dan menciptakan proyek bermakna di sektor ini.
Berikut adalah beberapa aplikasi selain Oculab yang menonjol di eksibisi Apple Developer Academy di Jakarta:
1. Polaread
Polaread adalah aplikasi dirancang khusus untuk mendukung penderita disleksia untuk membaca, di mana secara otomatis menerapkan kode warna untuk meningkatkan fokus dan melacak kemajuan membaca.
"Dengan aplikasi ini, proses pewarnaan manual yang memakan waktu lama kini hanya membutuhkan waktu 2 detik saja," kata Mochammad Latifulfikri, Design Lead, UI/UX Designer Polaread.
Tidak hanya membantu penyandang disleksia, aplikasi buatan siswa Apple Developer Academy ini juga bisa dipakai oleh penyandang ADHD dan pengguna yang mengalami kesulitan fokus saat membaca.
"Pewarnaan bisa disesuaikan per baris, kata, paragraf, dan tanda baca. Dibantu oleh British Dyslexia Association (BDA), aplikasi ini juga memungkinkan pengguna untuk memilih warna paling sesuai dengan kebutuhan," paparnya.
Saat ditanyakan tentang di mana saja aplikasi ini meluncur, Mochammad mengatakan, "Polaread sudah tersedia di macOS App Store atau ekstensi browser," ucapnya.
Minimnya data disleksia di Indonesia dan proses uji coba menjadi tantangan yang dihadapi oleh Mochammad dan timnya saat mengembangkan aplikasi.
Dia juga menjelaskan, pengembangan ini juga didukung oleh feedback dari dokter, psikolog, serta pengguna tentang aplikasi dan fitur Polaread ini.
"Rencananya, aplikasi ini akan tersedia gratis. Namun, kita bakal menambahkan fitur berbayar, seperti bookmark dan catatan," pungkasnya.
2. Apical
Solusi lain yang dihadirkan oleh para siswa akademi adalah aplikasi bernama Apical, di mana aplikasi ini dibuat untuk membantu para penyandang HIV.
Saat ini, Indonesia menghadapi krisis HIV terbesar di ASEAN dengan lebih dari 540.000 kasus terdeteksi pada tahun 2023.
"Dari jumlah tersebut, ternyata hanya sekitar 36 persen konsisten menjalani pengobatan ARV (Anti-Retroviral Medication)," papar Hario Aji Daniswara, UI/UX Designer Apical.
Padahal, pengobatan ARV secara teratur sangat penting untuk mengontrol jumlah virus dalam tubuh dan mencegah penularan HIV ke orang lain.
"Namun, banyak dari mereka masih sulit menerima status HIV, minimnya pemahamam masyaratak dan dukungan dari pemerintah, dan stigma sosial adalah kendala utama mereka," ucapnya.
Menjawab permasalah ini, Apical hadir sebagai solusi digital berbasis aplikasi untuk membantu penyandang HPI agar tetap konsisten menjalani pengobatan, mencatat riwayat kesehatan, dan memperoleh dukungan komunitas lebih luas.
Fitur di Apical, Apa Saja?
"Di dalam aplikasi ini, kita membuat fitur pengingat kapan penyandang HIV harus mengonsumsi obat, kapan harus isi ulang obat, mencatat viral load, dan dukungan komunitas aman," papar Hario.
Nama "Apical" diambil dari istilah botani yang merujuk pada bagian terkuat dari sebuah tanaman bonsai. Filosofinya, penyandang HIV diibaratkan seperti merawat bonsai.
"Mereka harus sabar, konsisten, dan telaten dalam mengelola pengobatan dan menjaga kesehatan tubuh," jelasnya.
Aplikasi ini juga diharapkan menjadi game-changer dalam membantu Indonesia mencapai target 95-95-95 dalam pengelolaan HIV.
Dengan kolaborasi bersama komunitas HIV, tenaga medis, dan Kementerian Kesehatan, Apical memiliki potensi besar untuk mendukung lebih banyak penyandang HIV agar tetap teratur dalam pengobatan, mencapai status undetectable, dan melawan stigma sosial.
3. Chamelure
Berikutnya adalah Chamelure, sebuah aplikasi di iPad yang dirancang khusus untuk anak-anak yang memiliki Amblyopia atau lazy eye (mata malas).
Lazy eye sendiri adalah kondisi di mana salah satu mata mengalami gangguna penglihatan meskipun telah dibantu dengan kacamata.
"Beda dari rabun jauh atau rabun dekat, penglihatan pada anak-anak dengan lazy eye tetap buram meski sudah menggunakan lensa korektif," jelas Quinela Wensky, Product Designer Chamelure.
Dijelaskan, ada lebih dari 8,2 juta anak di Indonesia berisiko mengalami lazy eye. "Jika tidak ditangani sebelum usia 7 tahun, perbaikan penglihatan akan semakin sulit dilakukan," ucap Quinela.
Anak-anak dengan lazy eye kerap mengalami masalah dalam depth perception (persepsi jarak), di mana mereka mungkin kesulitan mengambil benda dengan tepat atau terjatuh saat menuruni tangga.
"Jika dibiarkan, hal ini dapat memengaruhi perkembangan fisik dan sosial anak. Chamelure hadir sebagai solusi menarik dan efektif."
Bantu Terapi Anak dengan Lazy Eye
Aplikasi berbasis terapi optik pertama di Indonesia ini menawarkan cara lebih menyenangkan bagi anak-anak untuk menjalani terapi lazy eye menggunakan game.
"Chamelure mengandalkan kacamata anaglyph--kacamata mirip dengan kacamata 3D dengan lensa merah dan hijau. Konsepnya adalah melatih kedua mata untuk bekerja secara bersamaan," papar Quinela.
Setiap lensa memberikan visual berbeda, dan game ini akan meminta anak-anak memakai kedua mata mereka untuk menemukan objek tersembunyi di layar.
Pada tahun 2025, Quinela dkk berencana melakukan uji klinis melibatkan 39-40 pasien selama 6 minggu, dengan tujuan mengukur efektivitas aplikasi dalam memperbaiki penglihatan anak-anak dengan lazy eye.
Selain itu, pengembang juga akan menambahkan konten baru dan ingin membangun komunitas keluarga dengan anak-anak penyandang lazy eye.