Akses Pendidikan Tinggi untuk Penyandang Disabilitas Dinilai Masih Minim

1 week ago 16

Liputan6.com, Sleman Minimnya akses ke pendidikan tinggi menjadi penyebab tingginya angka penyandang disabilitas di Indonesia tidak aktif bekerja atau mencari pekerjaan. Sampai hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut dari total 17,9 juta penyandang disabilitas hanya 2,8 persennya yang mampu menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi.

Kondisi ini disampaikan komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND) Fatimah Asri Muthmainnah, dalam kuliah umum bertajuk ‘KND Menyapa: Memperkuat Kampus UNU Yogyakarta yang Inklusif Disabilitas’ di Kampus Terpadu Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (20/6/2025).

Jumlah pekerja penyandang disabilitas itu hanya sekitar 0,55 persen dari total tenaga kerja nasional. Sementara data organisasi buruh dunia, ILO, per Desember 2024, menyebutkan hampir 90 persen penyandang disabilitas di Indonesia tidak aktif bekerja atau mencari pekerjaan.

Fatimah memaparkan data Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan sekitar 75 persen dari total 720.748 pekerja disabilitas di Indonesia bekerja di sektor informal.

“Penyandang disabilitas yang mampu mengakses pendidikan tinggi masih minim, sehingga kesulitan pula bagi mereka untuk mengakses pekerjaan-pekerjaan professional,” katanya dalam rilis Sabtu (21/6/2025).

Disebutkan stigma negatif dan diskriminasi penyandang disabilitas dalam menempuh pendidikan perguruan tinggi masih kuat, sehingga penyandang disabilitas yang terserap di perguruan tinggi hanya 2,8 persen. Karenanya mereka sulit bersaing mengakses pekerjaan.

Karena itu, pekerjaan non-formal pun menjadi alternatif. Namun di sisi lain pelatihan wirausaha bagi penyandang disabilitas juga kurang dan mengakibatkan rendahnya kapasitas untuk membangun usaha.

“Untuk itu, perguruan tinggi perlu merumuskan solusi dengan tingginya angka penyandang disabilitas yang belum bekerja dan melaksanakan program pengabdian masyarakat dengan memberikan pelatihan pemberdayaan ekonomi untuk peningkatan kapasitas bagi penyandang disabilitas,” tutur penyandang disabilitas daksa ini.

Komisioner KND dari unsur disabilitas tuli, Rachmita Maun Harahap, menekankan pentingnya perguruan tinggi memiliki Unit Layanan Disabilitas (ULD). Dari 4.593 perguruan tinggi di Indonesia, terdapat 291 kampus yang menerima mahasiswa disabilitas. Namun dari jumlah itu hanya 71 kampus yang mempunyai ULD.

“Padahal tugas ULD ini penting dalam melakukan analisis kebutuhan, memberikan rekomendasi, melaksanakan pelatihan dan bimbingan teknis hingga pendampingan, dan melaksanakan pengawasan terkait kebutuhan penyandang disabilitas,” paparnya.Pelaksana Harian (Plh) Rektor Suhadi Cholil menyatakan UNU Yogyakarta memiliki peran strategis menyuarakan pentingnya inklusi di lingkungan perguruan tinggi berbasis nilai-nilai Islam moderat dan humanis.

“Kuliah umum ini diharapkan mampu membangun kesadaran kolektif dan memperkuat kapasitas institusi dalam mengakomodasi kebutuhan mahasiswa disabilitas. Selain itu, juga menjadi sarana berbagi praktik baik dan pengalaman inspiratif dari KND, khususnya dalam melakukan pendampingan, pengawasan, dan kerja sama dengan perguruan tinggi,” tuturnya.

Dalam mewujudkan kampus inklusif terutama bagi warga disabilitas, UNU Yogyakarta telah membentuk Center for Gender, Equality, Diversity, and Social Inclusion (GEDSI) yang turut memberi perhatian pada mahasiswa penyandang disabilitas, misalnya melalui pemberian beasiswa dan pendampingan selama berkuliah.

Suhadi pun menjelaskan kampus UNU Yogyakarta berkomitmen menjadi kampus inklusif termasuk dalam sarana prasarana yang mendukung akses disabilitas, seperti keberadaan tempat parkir, lift, toilet, dan perpustakaan yang ramah difabel, termasuk menyediakan Quran Braille.

Direktur Center for GEDSI UNU Yogyakarta Wiwin Rohmawati menyatakan sejumlah tantangan dihadapi para penyandang disabilitas untuk memperoleh hak mendapatkan pendidikan. Mereka menemui hambatan kultural seperti pelabelan negatif, juga stigma dan perilaku diskriminatif dari masyarakat.

“Adapun hambatan-hambatan struktural seperti minimnya aksesibilitas fasilitas publik, kurangnya dukungan kebijakan yang implementatif dan masih banyak kebijakan pemerintah yang belum memberikan akses penuh bagi penyandang disabilitas di fasilitas-fasilitas publik,” paparnya.

Read Entire Article
Jatim | Jateng | Apps |