loading...
Rais ‘Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar menyebut, kekuatan pesantren terletak pada kemampuannya menyeimbangkan ilmu dan iman. Foto/istimewa.
SURABAYA - Rais ‘Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar menyebut, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan tradisional, melainkan institusi peradaban yang terus menyalakan cahaya ilmu dan moral di tengah dinamika zaman.
Selain itu, Pesantren juga bukan lagi dipandang sebagai lembaga pendidikan alternatif, tetapi mitra strategis negara dalam membangun peradaban. Pandangan itu mengemuka dalam Halaqah Penguatan Kelembagaan Pendirian Direktorat Jenderal Pesantren yang digelar di UIN Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur.
Forum tersebut menjadi momentum penting lahirnya kesadaran kolektif bahwa pesantren bukan hanya bagian dari sistem pendidikan nasional, melainkan penopang utama ketahanan sosial dan spiritual bangsa.
Baca juga: Prabowo: Jadikan Hari Santri Momentum Penguatan Pendidikan Keagamaan
Kiai Miftachul menegaskan, kekuatan pesantren terletak pada kemampuannya menyeimbangkan ilmu dan iman, akal dan adab. “Kalau ingin pesantren terus melahirkan santri yang berkarakter untuk memperkuat bangsa ini, ya dengan ilmu. Dan itu ada di pesantren,” ujarnya, dikutip Minggu (16/11/2025).
Menurut dia, ilmu yang sejati tidak pernah berjalan sendiri tanpa kesadaran ilahiah. “Ilmu harus bergandengan dengan bismillah dan khasyatullah. Jangan biarkan ilmu telanjang jalan sendiri. Pesan ini menjadi penegasan bahwa pesantren bukan sekadar penghasil pengetahuan, tetapi juga penjaga moralitas ilmu agar tak kehilangan arah kemanusiaan,” katanya.
Kiai Miftachul menilai, dalam sejarahnya pesantren telah memainkan peran strategis menjaga keseimbangan sosial. “Kalau satu kabinet diisi santri, insyaallah aman. Karena mereka tumbuh dengan ketaatan dan kesadaran bahwa setiap amalnya diawasi Allah,” ujarnya.
Baca juga: Prabowo Restui Ditjen Pesantren Kemenag, Siapa Dirjennya?
Santri, adalah penjaga nurani bangsa taat kepada pemerintah selama tidak diperintahkan kepada kemaksiatan, sekaligus kritis dalam kebenaran.
Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH. Abdul Hakim Mahfudz, mengaitkan eksistensi pesantren dengan tradisi keilmuan Islam sejak masa Rasulullah SAW. Ia menyebut model Ashabus Suffah — para sahabat yang tinggal di serambi masjid untuk belajar dan berkhidmah — sebagai cikal bakal pendidikan pesantren.
“Tradisi itu bertransformasi menjadi sistem pendidikan khas Nusantara yang menumbuhkan santri berilmu, beretika, dan beramal saleh,” ujarnya.
Kiai Abdul Hakim menambahkan, nilai-nilai itu kini dirumuskan dalam semangat Berkah (Berilmu, Etika, Religius, Kreatif, Amal Saleh, dan Hikmah) sebagai paradigma pendidikan pesantren masa kini yang tidak hanya berorientasi pada keilmuan, tapi juga pada keutuhan manusia dan kemaslahatan bangsa.
















































