loading...
Ridwan al-Makassary. Foto/Istimewa
Ridwan al-Makassary
Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dan Direktur Center of Muslim Politics and World Society (COMPOSE) UIII
ASIA Tenggara adalah sebuah wilayah yang diberkahi dengan keragaman. Di berbagai sudut Asia Tenggara , dari pelosok Mindanao, desa-desa kecil di Pattani, hingga kampung-kampung perbatasan Kalimantan dan Tanah Papua, kita menyaksikan mosaik kehidupan yang kaya dengan warna-warna agama . Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Khonghucu, hingga kepercayaan lokal dan adat nusantara, hidup berdampingan dalam lanskap sosial yang kompleks. Namun mosaik itu, betapa pun indahnya, acap retak oleh gesekan politik identitas dan ketidakadilan struktural. Dalam pusaran inilah interfaith dialogue (dialog antaragama) kembali menyeruak sebagai jalan sunyi yang acap dilupakan, tetapi justru memiliki potensi besar untuk merawat perdamaian yang rapuh.
Secara formal, gerakan Interfaith muncul awal 1990an di Indonesia dan menyebar ke Asia Tenggara. Interfaith dialogue secara formal di tanah air berdiri pada 1991 di Yogyakarta dengan nama Institut Dian/Yayasan Interfidei. Sejak itu, bermunculan gerakan-gerakan Interfaith di Indonesia, termasuk NGO dan kampus yang memiliki pusat-pusat kajian bermunculan, yang mengupayakan dialog antaragama. Bahkan, ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga menggerakkan diplomasi agama dengan melaksanakan forum Religion Twenty (R20) dan World Peace Forum (WPF). Unit pemerintahan seperti PKUB (Pusat Kerukunan Umat Beragama) dan unit di kementerian lain juga menggerakan diplomasi religious. Malaysia, Filipina, Brunei, untuk menyebut beberapa, juga mengembangkan dialog antar agama untuk menjaga kerukunan di wilayah masing-masing.
Murungnya, dialog antar agama banyak berwujud dialog teologis yang dilakukan pemuka-pemuka agama, yang kadang tidak banyak efeknya kepada masyarakat akar rumput. Meskipun demikian, ada dialog-dialog yang disebut dialog kehidupan yang melibatkan interaksi dan ketertarikan untuk saling menghidupi di masyarakat. Inilah yang merupakan kegiatan perdamaian yang disemai sebagai bukan proyek elitis yang bergema hanya di ruang seminar ber-AC. Kegiatan-kegiatan dialog antar agama untuk perdamaian model begini digerakkan sejumlah NGO dan unit kampus untuk hal tersebut. Ia adalah keterampilan sosial, disiplin moral, sekaligus komitmen politik yang berakar pada kesediaan untuk mendengarkan yang berbeda. Dalam konteks Asia Tenggara, satu wilayah yang kaya tradisi namun sarat konflik laten, dialog lintas iman bukan sekadar agenda normatif, tetapi kebutuhan historis. Kita telah terlalu lama melihat bagaimana agama dibajak guna memobilisasi kemarahan, mempolitisasi warga, dan melanggengkan ketidakpercayaan.















































