Ada Sejak Abad 15 Masehi, Pakar Unair Ungkap Sejarah Malam Takbiran di Indonesia

1 day ago 2

loading...

Tradisi takbiran di Nusantara telah ada sejak era kesultanan Islam, khususnya pada abad ke-15 hingga ke-18 Masehi. Foto/SINDOnews.

JAKARTA - Ahmad Syauqi, pakar budaya Islam dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga ( Unair ), menjelaskan bahwa tradisi takbiran di Nusantara telah ada sejak era kesultanan Islam, khususnya pada abad ke-15 hingga ke-18 Masehi.

Pada masa itu, takbiran erat kaitannya dengan praktik keagamaan Islam.

Pada periode berikutnya, yakni masa kolonial sekitar abad ke-19 hingga ke-20 Masehi, pelaksanaan takbiran berlangsung dalam kondisi yang lebih terbatas karena pengaruh pemerintah kolonial Belanda.

Baca juga: 6 Negara yang Merayakan Idulfitri pada Senin 31 Maret 2025

Hingga saat ini, takbiran masih dikenal dengan tabuhan bedug yang menggema. Namun, seiring perkembangan zaman, tradisi ini mengalami perubahan dan bahkan telah merambah ke dunia digital.

“Kita kini dapat menyaksikan fenomena takbiran virtual yang dilakukan melalui siaran langsung. Hal ini menunjukkan bahwa esensi takbiran tetap bertahan, meskipun wujudnya terus menyesuaikan dengan perkembangan zaman,” tambahnya.

Gema Takbir dan Keanekaragaman Tradisi

Ia menyoroti bahwa setiap negara memiliki keunikan tersendiri dalam merayakan takbiran. “Di Indonesia, unsur budaya sangat kuat, sehingga Islam berakulturasi dengan tradisi setempat dan melahirkan berbagai bentuk perayaan seperti pawai obor, gema bedug, serta takbir keliling,” jelasnya.

Baca juga: Sehari Jelang Lebaran, Lalu Lintas di Jakarta Lengang

Sebagai contoh, di Pulau Jawa terdapat tradisi Takbir Keliling yang banyak dilakukan di Yogyakarta dan Solo. Di Madura, takbiran dirayakan dengan Tellasan Topa’. Sementara itu, di luar Jawa, seperti di Aceh, masyarakat menampilkan seni Rateb Meuseukat, yang merupakan tarian sufistik.

Di Minangkabau, Sumatera Barat, masyarakat menyelenggarakan Takbiran Bararak. Adapun di Bugis-Makassar, Sulawesi Selatan, terdapat tradisi Mappadendang yang diiringi suara tabuhan lesung sebagai simbol rasa syukur.

“Masyarakat Nusantara sangat terbuka, tidak hanya menghormati ajaran Islam tetapi juga merangkul budaya lokal. Keterlibatan berbagai lapisan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan, menjadikan perayaan ini inklusif tanpa adanya perbedaan,” ungkapnya.

Malam Spiritualitas atau Sekadar Euforia?

Di beberapa daerah, takbiran berkembang menjadi ajang perlombaan, misalnya dalam menentukan siapa yang memiliki bedug terbesar, replika masjid paling megah, atau pawai takbir paling meriah. Tak jarang, perayaan ini juga diiringi petasan dan kembang api, yang justru mengaburkan makna asli dari takbir.

Read Entire Article
Jatim | Jateng | Apps |