Profil Cyril Ramaphosa, Presiden Afrika Selatan yang Temui Prabowo di Jakarta

9 hours ago 7

loading...

Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa disambut Presiden RI Prabowo Subianto di Jakarta. Foto/BPMI Setpres

JAKARTA - Cyril Ramaphosa adalah sosok kunci dalam sejarah modern Afrika Selatan, dari aktivis serikat pekerja, negosiator transisi apartheid, pengusaha sukses, hingga akhirnya menjadi Presiden Republik Afrika Selatan sejak 2018. Di tengah tantangan besar seperti kesenjangan sosial, ekonomi yang tertekan, dan politik yang berubah cepat, Ramaphosa mencoba menegaskan visinya untuk “Afrika Selatan bagi semua”.

Kunjungan resminya ke Jakarta dan pertemuan dengan Presiden RI Prabowo Subianto menunjukkan ia juga aktif pada ranah diplomasi global dan memperkuat hubungan Afrika Selatan dengan Asia-Pasifik.

Kita akan menguraikan profil Ramaphosa secara mendalam: latar belakang pribadinya, perjalanan politik dan bisnisnya, pencapaian dan tantangan, hingga prospek masa depan kepemimpinannya.

1. Latar Belakang Pribadi dan Pendidikan

Cyril Ramaphosa lahir pada 17 November 1952 di Johannesburg, dalam lingkungan suburb yang masih berada di bawah rezim apartheid.

Keluarganya mengalami realitas keras diskriminasi rasial—membesarkan Ramaphosa di kawasan Soweto, yang menjadi pusat banyak perjuangan anti-apartheid.

Ia menyelesaikan sekolah menengah di Mphaphuli High School (Sibasa) pada tahun 1971.

Setelah itu, Ramaphosa melanjutkan pendidikan tinggi ke University of the North (sekarang University of Limpopo) mulai 1972, di mana ia aktif dalam organisasi mahasiswa dan gerakan aktivisme politik.

Dalam perjalanan studinya, ia ditahan beberapa kali karena aktivitas politik—misalnya pada tahun 1974 karena mengorganisir rally mendukung kemerdekaan Mozambique.

Tahun 1981, ia memperoleh gelar B.Proc dari University of South Africa (UNISA).

Dari latar tersebut, jelas bahwa Ramaphosa memiliki akar dalam perjuangan politik, pengorganisasian massa, dan pendidikan hukum — yang kemudian menjadi landasan bagi kariernya.

Nilai-nilai seperti keadilan sosial, kesetaraan, dan kemampuan negosiasi sudah tumbuh sejak masa muda.

2. Karier Aktivisme dan Serikat Pekerja

Setelah lulus, Ramaphosa bergabung dengan dunia gerakan pekerja. Ia menjadi penasihat hukum untuk Council of Unions of South Africa (CUSA) dan kemudian menjadi Sekretaris Jenderal untuk National Union of Mineworkers (NUM) saat pembentukannya pada tahun 1982.

Di NUM, Ramaphosa memimpin aksi mogok besar pada tahun 1987 — yang menjadi salah satu mogok terbesar dalam sejarah industri pertambangan Afrika Selatan pada masa itu.

Melalui peran ini, ia mengasah keahlian negosiasi, memahami isu-struktural ketenagakerjaan, dan membangun jaringan politik yang luas di antara kelas pekerja dan elit politik anti-apartheid.

Karier dalam serikat pekerja juga menempatkan Ramaphosa sebagai figur penting dalam gerakan demokrasi massa yang kemudian membuka jalan untuk pembongkaran apartheid.

Ia membantu mendirikan Congress of South African Trade Unions (COSATU) pada 1985, yang menjadi aliansi utama gerakan pekerja dan politik.

Dengan demikian, sebelum terjun penuh ke politik partai, Ramaphosa sudah membuktikan kemampuannya dalam organisasi besar, mobilisasi sosial, dan advokasi struktural — elemen yang penting dalam karier politiknya selanjutnya.

3. Peran dalam Transisi Demokrasi dan Politik Awal

Saat rezim apartheid mulai melemah, Ramaphosa mengambil peran kunci dalam fase transisi. Pada Juli 1991, ia terpilih sebagai Sekretaris Jenderal African National Congress (ANC) dan menjadi kepala delegasi ANC dalam pembicaraan multipihak dengan pemerintah nasionalis untuk mengakhiri apartheid.

Read Entire Article
Jatim | Jateng | Apps |