loading...
Firman Tendry Masengi, Advokat/Founder RECHT Institute. Foto/Istimewa
Firman Tendry Masengi, SH.
Advokat/Founder RECHT Institute (Research and Education Center for Humanitarian Transparency Law)
Pendahuluan
PROYEK Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) seharusnya menjadi simbol kemajuan teknologi dan transportasi nasional. Namun dalam praktiknya, proyek ini menjelma menjadi potret klasik dari distorsi tata kelola, penyimpangan norma hukum, dan kerapuhan etika publik. Ia adalah alegori tentang bagaimana hukum berjalan lambat ketika kekuasaan berlari cepat; bagaimana peraturan hanya menjadi alat legitimasi bagi proyek ambisius yang minim akuntabilitas dan sarat konflik kepentingan.
Di bawah bendera Belt and Road Initiative (BRI), KCJB berdiri bukan semata sebagai infrastruktur fisik, tetapi juga sebagai simbol hegemoni ekonomi baru dan penundukan hukum oleh kalkulasi politik serta tekanan korporasi negara. Ia mencerminkan bahwa dalam tubuh pemerintahan modern Indonesia, hukum masih tunduk pada kekuasaan modal dan kehendak politik penguasa.
Distorsi Hukum dan Keuangan Negara
Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 89 Tahun 2023 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah terhadap Proyek Strategis Nasional seolah menjadi “karpet merah” bagi pembenaran risiko keuangan negara. Regulasi ini membuka celah bagi penyimpangan prinsip fiskal prudence, sebab pada dasarnya proyek KCJB sejak awal berkomitmen tanpa jaminan pemerintah — sebuah janji yang kemudian dilanggar oleh kebijakan itu sendiri.
Padahal, Pasal 23 UUD 1945 menegaskan bahwa keuangan negara harus dikelola secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketika pemerintah mengucurkan dana talangan, memberikan jaminan, atau mengubah struktur pembiayaan tanpa persetujuan dan audit publik yang transparan, maka telah terjadi pelanggaran prinsip constitutional accountability.
Dengan demikian, pelanggaran terhadap asas transparansi fiskal dan akuntabilitas publik bukan sekadar maladministrasi, melainkan bentuk nyata abuse of power yang dapat menjerat aktor-aktor kebijakan melalui ketentuan pidana keuangan negara dan tindak pidana korupsi.
















































