loading...
Dosen Politeknik Unggul LP3M, Ramen A Purba. FOTO/DOK.PRIBADI
Ramen A Purba
Dosen Politeknik Unggul LP3M
Mahasiswa Doktor Universitas Negeri Padang
PENDIDIKAN nasional kita berada di titik paradoksal. Di satu sisi, berbangga mencetak ribuan sarjana, magister, doktor, bahkan profesor setiap tahun. Namun di sisi lain, pendidikan justru menumbuhkan generasi yang rapuh integritasnya. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperlihatkan, 86% koruptor yang ditangkap berasal dari perguruan tinggi, sebagian besar menyandang gelar tinggi akademik. Realitas ini mengajukan pertanyaan mendasar. Apakah pendidikan kita benar-benar mendidik? Ataukah hanya melahirkan manusia cerdas yang miskin nurani?
Jika pendidikan hanya mengasah kecerdasan tanpa membentuk karakter, maka hasilnya bukanlah insan paripurna, melainkan cendekia yang kehilangan arah moral. Di tengah gemuruh prestasi akademik, nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian sosial justru terpinggirkan. Lembaga pendidikan, yang seharusnya menjadi taman subur bagi pertumbuhan integritas, kini lebih sering menjadi pabrik pencetak ijazah tanpa jaminan kualitas etis di baliknya.
Lahan Subur Benih Korupsi
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sektor pendidikan masuk lima besar bidang terkorup selama 2016–2021, bersama pemerintahan, transportasi, perbankan, dan dana desa. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi benteng moral bangsa malah menjadi lahan subur bagi benih-benih korupsi.
Lebih memperihatinkan, hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dirilis KPK, menunjukkan bahwa indeks integritas pendidikan nasional hanya mencapai 69,50 dari skala 100, tergolong dalam level korektif. Ini berarti, secara struktural, dunia pendidikan kita masih jauh dari idealisme kejujuran.
Survei tersebut menjangkau 36.888 satuan pendidikan di 507 kabupaten/kota di seluruh Indonesia dengan melibatkan hampir setengah juta responden. Temuannya mencengangkan, praktik menyontek ditemukan di 78% sekolah dan 98% perguruan tinggi. Sebanyak 44,75% peserta didik mengaku menyontek, dan 38,4% terbiasa meminta orang lain mengerjakan tugasnya. Bahkan, 20,69% menyatakan lebih memilih menyontek daripada belajar. Ini bukan sekadar ketidakjujuran kecil. Ini cikal bakal korupsi yang sedang disemai.
Kebiasaan menyontek, menerima dan memberi gratifikasi, hingga praktik nepotisme di lingkungan pendidikan membentuk mentalitas permisif terhadap kecurangan. Dalam jangka panjang, perilaku ini menggerogoti sendi-sendi keadilan sosial dan memperkuat budaya korupsi yang sulit diberantas. Dunia pendidikan yang abai terhadap integritas bukan hanya gagal mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi justru mempercepat kemunduran moral masyarakat.
Budaya Gratifikasi dan Nepotisme di Bangku Sekolah
Korupsi di dunia pendidikan bukan hanya terjadi dalam bentuk kecil seperti menyontek. Gratifikasi pun dianggap wajar oleh sebagian besar pendidik. Survei KPK menemukan, 29,17% guru menerima bingkisan dari siswa untuk mendapat perhatian lebih, dan 58,61% dosen menerima bingkisan dari mahasiswa demi kemudahan kelulusan. Tragisnya, 68,10% tenaga pendidik menganggap gratifikasi itu sebagai hal biasa.
Nepotisme juga mengakar kuat. Sebanyak 36,55% tenaga pendidik mendapatkan promosi karena kedekatan dengan pimpinan, bukan karena prestasi. Perlakuan khusus terhadap siswa/mahasiswa dalam penerimaan juga mencapai 60,76%. Dunia pendidikan, yang seharusnya mengajarkan meritokrasi dan keadilan, justru menormalisasi praktik-praktik culas ini. Tidak mengherankan, para cendekiawan muda yang lahir dari rahim pendidikan seperti itu akhirnya melihat korupsi sebagai sesuatu yang "biasa" ketika mereka menduduki jabatan publik.
Budaya permisif ini membentuk generasi yang pintar membenarkan kecurangan ketimbang mengoreksi kesalahan. Ketika pendidikan gagal menanamkan integritas sebagai fondasi karakter, maka diploma, gelar, dan jabatan hanya menjadi simbol kosong tanpa jiwa. Pendidikan yang abai terhadap nilai-nilai kejujuran sejatinya tengah memupuk bencana sosial yang suatu saat akan menuai krisis kepercayaan publik terhadap seluruh institusi negara.
Kegagalan Pendidikan Antikorupsi
Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK mengamanatkan KPK untuk menyelenggarakan pendidikan antikorupsi di seluruh jejaring pendidikan. Namun, hingga kini, implementasinya belum menyentuh akar persoalan. Pimpinan KPK periode 2019–2024 memang membanggakan capaian pendidikan antikorupsi. Sudah diadopsi di 26.175 satuan pendidikan, mencakup 65% perguruan tinggi di Indonesia, dan sudah memiliki dukungan regulasi di 453 pemerintah daerah.
Namun, keberhasilan yang ditunjukkan lewat angka-angka itu tetap menjadi semacam "keberhasilan statistik". Ia tidak berbanding lurus dengan perubahan perilaku. Ini menunjukkan bahwa pendidikan antikorupsi telah terjebak dalam logika proyek, bukan sebagai upaya perubahan budaya. Pendidikan antikorupsi semestinya bukan sekadar program formal, tetapi harus membentuk kesadaran, menginternalisasi nilai, dan membangun keberanian untuk menolak ketidakjujuran.
Seperti kata Ki Hajar Dewantara, pendidikan itu menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Dalam konteks hari ini, kodrat itu harus diarahkan pada kejujuran, tanggung jawab, dan integritas, bukan pada kecerdasan kosong yang siap digunakan untuk memperkaya diri sendiri dengan jalan kotor.