Memastikan Kesinambungan Kebijakan

17 hours ago 4

loading...

Hendarman - Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikbudristek/ Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan. Foto/Dok Pribadi

Hendarman
Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan Bogor

Munculnya kebijakan baru seringkali dipertanyakan publik. Dipertanyakan karena kebijakan baru seringkali dianggap tidak sepenuhnya baru tetapi sekadar mengganti label atau peristilahan. Dipertanyakan karena kebijakan baru secara langsung atau tidak, akan memengaruhi mereka yang menjadi target kebijakan serta lingkungan kebijakan. Suka atau tidak suka, target kebijakan harus segera mengubah kebiasaan atau pola pikir. Mungkin saja mereka baru memahami dengan baik tentang kebijakan sebelumnya, tetapi mendadak harus berubah 180 derajat. Pola pikir yang sudah terbentuk akibat tuntutan kebijakan sebelumnya mau tidak mau disesuaikan dengan tuntutan kebijakan yang baru.

Perubahan terhadap kebijakan sebenarnya bukan sesuatu yang dilarang atau menjadi sebuah hal yang “taboo”. Perubahan tersebut umumnya karena ada alasan atau filosofi spesifik yang melatarbelakanginya. Sering tidak dipahami publik terutama target kebijakan, bahwa tidak ada sebuah kebijakan yang sifatnya statis dan stagnan. Tidak juga ada sebuah kebijakan yang telah ditetapkan akan berlaku selamanya seumur hidup.

Juga harus disadari bahwa perubahan terjadi karena lingkungan kebijakan berubah secara dinamis dari waktu ke waktu. Paling tidak terdapat dua kondisi lingkungan yang memengaruhi perubahan kebijakan. Pertama, lingkungan internal (internal environment). Kedua, lingkungan eksternal (external environment). Yang umumnya sering dilupakan pembuat kebijakan adalah dampak perubahan kebijakan tersebut. Pembuat kebijakan mungkin menganggap bahwa dampak yang timbul sudah merupakan sebuah konsekuensi logis bagi target kebijakan.

Beberapa teori dan pendapat mengatakan bahwa perubahan dapat menimbulkan dampak baik yang dikehendaki (intended-impact) maupun tidak dikehendaki (unintended-impact). Dampak yang dikehendaki diasumsikan tidak banyak menimbulkan kegaduhan baik bagi pembuat kebijakan maupun target kebijakan. Sebaliknya dampak yang tidak dikehendaki ditengarai memberikan konsekuensi terhadap ketersediaan anggaran, waktu maupun sumber daya manusianya. Yang pasti, perubahan kebijakan secara normatif berdampak terhadap potensi timbulnya masalah-masalah. Masalah-masalah ini mengharuskan pembuat kebijakan atau pihak yang terkait dengan kebijakan dimaksud memikirkan langkah antisipasi atau upaya pemecahannya.

Kesinambungan Kebijakan
Kebijakan yang ditetapkan dan diimplementasikan tentu saja harus mempertimbangkan umpan balik dari target atau pengguna kebijakan tersebut (Mettler dan SoRelle, 2017). Perubahan tersebut secara tidak langsung juga termasuk dalam bentuk perubahan politik dan tingkat kepercayaan (Kumlin et al., 2018).

Pertanyaannya, apakah dengan terjadinya perubahan pemegang kebijakan atau kewenangan otomatis diikuti dengan perubahan kebijakan yang sudah ada sebelumnya? Apakah memang kebijakan yang sebelumnya dianggap tidak memiliki nilai positif sehingga harus diubah secara total?

Terdapat suatu aksioma yang dikemukakan Widodo (2007) bahwa pengalaman empiris dan fakta yang ada menjadi indikasi bahwa kebijakan yang telah ditetapkan perlu dicermati kembali akibat adanya perubahan. Perubahan tersebut dapat dilakukan secara cepat tetapi juga dapat dilakukan secara perlahan. Keputusan untuk melakukan perubahan tersebut menjadi otoritas dan kewenangan penuh dari pemegang kebijakan. Dalam pengambilan keputusan perubahan tersebut, pemegang kebijakan diasumsikan sudah mempertimbangkan berbagai hal.

Ditengarai bahwa keputusan untuk mengubah kebijakan itu merupakan hasil dari sebuah evaluasi yang sistematis, logis dan kritis. Idealnya hasil evaluasi disampaikan kepada publik, tetapi itu bukan menjadi sebuah keharusan. Ada kriteria tertentu yang menyebabkan hasil evaluasi tidak harus dilakukan secara terbuka, tergantung dari sejauhmana perubahan itu sifatnya urgen, serius, dan bertumbuh cepat ke arah yang kurang baik atau lebih dikenal dengan metode USG (Urgent, Seriousness, dan Growth).

Perubahan terhadap kebijakan tersebut mungkin saja dipandang dari perspektif anggaran, manfaat, serta alokasi sumber daya yang lebih efisien (Briggs & Fenton, 2023). Intinya, perubahan itu harus dipastikan memiliki keberpihakan bagi kemaslahatan publik atau orang banyak. Artinya, perubahan kebijakan tidak untuk semata-mata memenuhi keinginan dan kehendak kaum elite saja, tanpa ada aspirasi masyarakat yang terserap didalamnya (Wibawa, 2011).

Read Entire Article
Jatim | Jateng | Apps |